Co Pas Book - Dalam rangka
mempersiapkan struktur organisasi perangkat daerah menjelang otonomi,
Pemda Sulut telah dua
kali membentuk tim pengkaji. Tim pertama dibentuk dengan
Surat Keputusan (SK)
Gubernur Sulut No. 61, 2000 tentang Pembentukan Tim Pengkaji
Kebutuhan Organisasi
Kelembagaan Perangkat Daerah Propinsi yang dibentuk pada Juni
2000. Tim pengkaji
ini sempat bekerja selama 2 bulan dan menghasilkan tiga alternatif
struktur organisasi
pemda. Karena pada tim pertama ini tidak diikutkan langsung pakar
kalangan akademisi,
meskipun pada proses pelaksanaannya tim ini juga banyak meminta
masukan dari para
pakar, maka dibentuk tim pengkaji ke dua. Tim Kedua ini dibentuk
tanggal 13 September
2000 berdasarkan SK Gubernur Sulut No. 159, 2000 tentang
Pembentukan Tim
Pengkaji, Perumus, dan Penyusun, Tugas Pokok, Fungsi, dan Susunan
Organisasi Perangkat
Daerah Propinsi Sulut. Dalam keanggotaan tim ini dilibatkan tiga
pakar masing-masing
satu orang ahli sosiologi, satu orang ahli tata negara, dan satu orang
widyaswara.
Hasil kajian dari tim
pertama adalah tiga altenatif nomenklatur jumlah instansi meliputi
dinas dan lembaga
teknis daerah Pemda Propinsi Sulut (lihat Tabel 3). Selain jumlah
instansi tim juga
memperkirakan jumlah jabatan dan pegawai yang dibutuhkan dari setiap
alternatif.
Masing-masing alternatif juga dilengkapi dengan dasar pertimbangan
pembentukannya,
termasuk kelebihan dan kelemahannya:
Alternatif I, dengan
jumlah instansi 26, disusun dengan mengacu pada kewenangan
propinsi yang
tertuang di PP No. 25, 2000 dan prinsip hemat struktur kaya fungsi.
Kelemahan alternatif
ini adalah besarnya jumlah unit kerja yang akan dihapus dan
pegawai yang tidak
akan tertampung.
Alternatif II, dengan
32 instansi, disusun dengan pertimbangan situasi dan kondisi yang
berkembang di tingkat
pusat, sehingga unit kerja yang direncanakan masih sebagaimana
adanya saat sebelum
otonomi. Dengan sendirinya jumlah unit kerja dan jabatan struktural
yang akan dihapus
relatif lebih sedikit dibanding alternatif I.
Alternatif III,
dengan instansi terbanyak (36 instansi) merupakan solusi untuk menekan
seminal mungkin
kelemahan pada alternatif I.
Akhirnya sekitar
setengah bulan sebelum otonomi daerah dilaksanakan, yaitu tanggal 12
Desember 2000, Pemda
Propinsi Sulut mengeluarkan perda tentang organisasi perangkat
daerah, yang terdiri
dari:
− Perda
No. 10, 2000 tentang Organisasi Dinas-Dinas Daerah Propinsi Sulawesi Utara,
− Perda
No. 11, 2000 Tentang Sekretariat Daerah Propinsi dan Sekretariat DPRD
Propinsi Sulawesi
Utara,
− Perda
No. 12, 2000 tentang Organisasi Lembaga-Lembaga Teknis Daerah Propinsi
Sulawesi Utara.
Tabel
3. Jumlah dinas dan lembaga teknis daerah Pemda Propinsi Sulut,
sebelum dan setelah
otonomi daerah
Hasil Kajian (3
Alternatif)
Instansi
Sebelum
Otonomi I II III
Perda No.10
dan 12, 2000
Dinas 15 11 16 19 18
Lembaga Teknis Daerah 7 13 14 15 13
Dekonsentrasi/Vertikal 18 2 2 2 -
Total 40 26 32 36 31
Sumber: Biro
Organisasi, Pemda Propinsi Sulut.
Dalam struktur
organisasi yang baru, jumlah instansi yang dibentuk lebih mendekati pada
alternatif II (lihat
Tabel 3), dalam hal ini pemda tetap mempertimbangkan aspek
ketertampungan
pegawai. Pemda mengakui bahwa dari sudut jumlah kewenangan serta
kemampuan keuangan
yang ada, struktur tersebut masih terlalu gemuk. Berkait dengan
struktur yang “gemuk”
itu, DPRD menyatakan dengan tegas bahwa jika terdapat sejumlah
dinas yang tidak bisa
efektif dan hanya merupakan “cost centre” (tidak bisa menghasilkan
PAD) maka,
kemungkinan besar akan dibubarkan. Diakui oleh sejumlah aparat pemda
bahwa struktur
organisasi dan mekanisme kerja yang dilaksanakan saat ini masih dalam
kerangka uji coba
efektifitas struktur organisasi yang ada, dalam pengertian bahwa
perobahan struktur
organisasi masih memungkinkan dilakukan.
Meskipun secara legal
formal pemda propinsi telah mengesahkan perda kelembagaan,
tetapi masih banyak
aspek yang statusnya masih dalam proses pembenahan yaitu: (i)
pembenahan tugas
pokok dan fungsi, baik kelembagaan maupun personil; (ii) transfer,
penempatan dan
pengangkatan personil; serta (iii) pengalihan aset negara. Berikut adalah
rincian beberapa
permasalahan pemda dalam proses penyusunan kelembagaan:
− Masih
ada bagian kewenangan yang sulit diterapkan daerah karena terkait erat dengan
kepentingan politis
dan ekonomis pemerintah pusat. Misalnya, menurut UU No. 22,
1999, bidang
perhubungan dan pertanahan merupakan kewenangan yang wajib
dilaksanakan
kabupaten/kota. Maka berdasarkan ketetapan ini pengelolaan pelabuhan
udara dan laut
seharusnya dilakukan oleh daerah, namun kewenangan tersebut ternyata
akan tetap diurus pusat.
Di bidang pertanahan, melalui Keppres No. 10, 2001
ditetapkan bahwa
pelayanan di bidang ini masih tetap dikelola oleh pusat. Dalam
bidang pertanahan,
wewenang propinsi hanya menyangkut penetapan persyaratan,
sehingga propinsi
tidak membentuk dinas tersendiri untuk menangani kewenangan
pertanahan seperti
yang sudah dilakukan kabupaten/kota. Persoalan ini ternyata tidak
mudah dipecahkan,
karena dalam UU hubungan hirarkis antara kabupaten/kota
dengan propinsi
dinyatakan tidak ada lagi.
− Berkaitan
dengan pelimpahan tugas dekonsentrasi dan pembantuan yang masih
dipengaruhi sikap dan
mentalitas sentralistik yang lekat dikalangan pejabat pemerintah
pusat, beberapa
pejabat pusat meminta daerah untuk memiliki institusi (Dinas, Badan)
yang nomeklaturnya
harus sesuai dengan nama departemen dari pejabat bersangkutan.
Permintaan ini kerap
disertai “ancaman” seperti: “kalau tidak maka dana dekonsentrasi
tidak akan
diberikan”. Reaksi pejabat daerah atas hal ini: “Dalam menghadapi pejabat
pusat yang masih
bersifat sangat sentralis seperti ini, saya sungguh-sungguh minta
ampun”.
− Kendala
lainnya terkait dengan perangkat atau ketentuan legal yang dibuat pemerintah
pusat yang masih jauh
dari memadai, khususnya perangkat hukum yang sifatnya teknis
operasional.
Kelemahan ini bukan hanya menyebabkan kelambanan tetapi juga
mempersulit pemda
dalam mengambil keputusan tentang struktur organisasi
kelembagaannya.
Contoh kasus yang dikemukanan pemda dalam hal ini adalah
keraguan tentang
penetapan jabatan fungsional karena dasar hukum tentang hal ini
belum tersedia,
kalaupun dasar hukumnya tersedia, masalah lain yang muncul adalah
ketiadaan rincian
petunjuk/pedoman teknis lebih lanjut. Tim SMERU berpendapat
bahwa ketergantungan
daerah yang sangat besar terhadap pusat justru menghambat
pelaksanaan otonomi,
hal ini juga bisa dijadikan alasan pusat untuk mengulur-ulur
penyerahan urusan ke
daerah karena daerah dianggap belum siap.
Tingkat
Kabupaten
Tiga kabupaten di
Sulut yang dikunjungi Tim SMERU (Minahasa, Bolmong, dan
Gorontalo), sudah
memiliki perda struktur organisasi yang baru, yang disahkan antara
bulan
November-Desember 2000. Dengan demikian, begitu otonomi berjalan, 1 Januari
2001, perangkat legal
struktur organisasi sudah siap diimplementasikan. Jumlah dan
nomor perda tentang
struktur organisasi di masing-masing kabupaten dapat dilihat pada
Tabel 4. Untuk
Kabupaten Minahasa dan Bolmong perda struktur organisasi dibuat
berdasarkan jenis
instansi yang terdiri dari: sekretariat daerah, dinas-dinas, lembaga teknis
daerah, kecamatan dan
keluarahan. Sedangkan di Kabupaten Gorontalo, untuk setiap
dinas dan lembaga
teknis dibuat perda sendiri-sendiri, misalnya, pembentukan Dinas
Pertanahan diatur
dalam Perda No. 27 tahun 2000, sehingga jumlah perda penetapan
struktur organisasi
baru ada 29 buah.
Tabel
4. Dasar hukum struktur organisasi baru Pemda Kabupaten Minahasa,
Bolmong, dan
Gorontalo
Uraian
Minahasa Bolmong Gorontalo
Nomor Perda No.: 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, dan 18,
Tahun 2000
No.: 36, 37, 38,
39, dan 40,
Tahun 2000
No. 27 s/d No. 55,
Tahun 2000
Tanggal
Pengesahan
Nopember 2000 Desember 2000 September-
Desember 2000
Jumlah Perda 8 perda 5 perda 29 perda
Sumber: Bagian
Organisasi Pemda Kabupaten Minahasa, Bolmong, dan Gorontalo.
Dilihat dari jumlah
instansi yang dibentuk, Kabupaten Minahasa memiliki instansi paling
banyak dibandingkan
dengan Kabupaten Bolmong dan Gorontalo, yaitu sebanyak 48
instansi (lihat Tabel
5). Pemda Kabupaten Minahasa tetap mempertahankan keberadaan
instansi maupun
personil lamanya. Saat pelaksanaan percontohan otonomi daerah tahun
1996, hampir seluruh
instansi yang ada di kabupaten ini menjadi instansi otonom, kecuali
BPN (Pertanahan) dan
Bimas (Pertanian). Oleh karena itu saat ini tidak banyak
melakukan
penggabungan/peleburan instansi vertikal menjadi instansi otonom. Demikian
pula struktur
organisasi Pemda Kabupaten Bolmong dan Gorontalo nampaknya juga masih
agak gemuk (dengan
total instansi 38), mengingat ada sejumlah instansi vertikal dan
cabang dinas yang
digabung/dilebur menjadi dinas otonom di samping alasan untuk
menampung sebanyak
mungkin pegawai.
Seperti halnya di
tingkat propinsi, pemda kabupaten juga mengakui bahwa struktur
organisasi yang
dibentuk sifatnya masih terbuka, artinya masih bisa berobah sesuai dengan
perkembangan dan
kebutuhan daerah. Kepala Bagian Organisasi Pemda Kabupaten
Bolmong misalnya,
mengungkapkan bahwa struktur organisasi baru bersifat terbuka untuk
kemungkinan
pembenahan sesuai dengan perkembangan yang ada dan dengan
pertimbangan
efektifitas dan efisiensi. Rencananya struktur organsasi Kabupaten
Bolmong akan
dievaluasi setelah satu tahun diimplementasikan.
Tabel
5. Jumlah instansi Pemda Kabupaten Minahasa, Bolmong, dan Gorontalo,
sebelum dan setelah
otonomi daerah
Sebelum Otonomi
Setelah Otonomi
Instansi
Minahasa Bolmong
Gorontalo Minahasa Bolmong Gorontalo
Asisten 3 3 3 3 3 3
Bagian 14 13 14 11 10 10
Dinas 17 11 12 21 19 19
Badan 2 1 1 10 6 4
Kantor 1 4 - 3 - 2
Total 37 32 30 48 38
38
Sumber: Bagian
Organisasi Setda Kabupaten Minahasa, Bolmong, dan Gorontalo.
Dalam proses
penyusunan dan implementasi struktur organisasi yang baru tersebut, pemda
kabupaten menghadapi
beberapa permasalahan antara lain:
− UU
No. 22, 1999 menetapkan bahwa bidang pertanahan termasuk ke dalam 11
kewenangan wajib
kabupaten, oleh karena itu ketiga kabupaten membentuk dinas
pertanahan (di
Kabupaten Minahasa dibentuk Badan Pertanahan), dan sudah melantik
pejabat
strukturalnya. Kemudian keluar Keppres No. 10, 2001 dan Surat Kepala Badan
Pertanahan Nasional
No. 110-201 KBPN, 23 Januari 2001 yang menyatakan bahwa
kewenangan pertanahan
tetap akan ditangani pusat. Alasannya, kewenangan di
bidang hukum tidak
termasuk dalam ketentuan pasal 11 ayat (2) UU No. 22, 1999,
dengan demikian
kewenangan di bidang pertanahan khususnya berkaitan dengan aspek
hukum pertanahan
untuk tujuan terwujudnya unifikasi hukum pertanahan dan
kepastian hukum di
bidang pertanahan tetap menjadi wewenang pemerintah pusat.
Menyikapi hal
tersebut ketiga kabupaten bertekad akan tetap meneruskan keberadaan
dinasnya
masing-masing. Alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa kedudukan
Keppres tidak dapat
membatalkan UU. Pemda Kabupaten Minahasa dan Bolmong
baru akan membubarkan
Dinas Pertanahannya apabila UU No. 22, 1999 direvisi, atau
Mahkamah Agung (MA)
mengeluarkan fatwa untuk membubarkan Dinas Pertanahan
di daerah, karena
hanya fatwa MA dan perda yang dapat membatalkan perda3.
Saat studi lapangan
dilakukan, di tingkat kabupaten terdapat dua instansi yang
menangani pertanahan,
yaitu instansi vertikal berbentuk Kantor Pertanahan, dan
instansi otonom
berbentuk Dinas/Badan Pertanahan. Pembicaraan dan pendekatan
masih terus dilakukan
oleh Kanwil BPN Propinsi baik kepada pihak eksekutif maupun
legislatif di
kabupaten, untuk “membujuk” agar mau menerima bahwa kewenangan
pertanahan tetap ditangani
pusat. Dalam realitasnya nanti apabila tidak ada
penyelesaian,
diperkirakan Dinas/Badan Pertanahan tidak akan dapat melakukan
pelayanan dengan
baik, karena pelaksanaan kewenangannya tidak diikuti dengan
pelimpahan
perlengkapan dan pembiayaannya. Menanggapi situasi ini Pemda
Kabupaten Bolmong
pada tanggal 14 Februari 2001 mengirimkan surat kepada Ketua
Asosiasi Pemerintah
Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) berisi kronologi yang
terjadi seputar
Dinas/Badan Pertanahan dan permasalahannya. Dalam hal ini Tim
SMERU melihat hal
positif di daerah dengan terjalinnya komunikasi antar daerah
dalam menghadapi
permasalahan otonomi, baik melalui jalur resmi seperti melalui
asosiasi tersebut,
ataupun melalui hubungan informal antar kepala daerah.
− Persoalan
lainnya adalah tentang hubungan koordinasi antara propinsi dengan
kabupaten/kota.
Secara umum langkah-langkah persiapan dan pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah di
tingkat kabupaten/kota tidak lagi dikonsultasikan dengan propinsi.
Meskipun demikian
tidak berarti pemda kabupaten/kota tidak mau lagi berhubungan
dengan propinsi.
Kabupaten, misalnya, masih mau menerima kewenangan koordinasi
dan untuk beberapa
hal juga pengawasan oleh propinsi dengan syarat ketentuan
hukumnya jelas, dan
propinsi tidak lagi mengambil kewenangan yang bukan haknya,
meskipun dengan
alasan kabupaten/kota belum mampu melaksanakannya.
Sejumlah permasalahan
faktual yang berkait dengan koordinasi tersebut sudah mulai
muncul ke permukaan,
antara lain:
(1) Adanya tumpang
tindih beberapa perda antar tingkat pemerintahan. Misalnya,
Perda Propinsi Sulut
No. 18, 2000 tentang Penanggulangan Mabuk Akibat
Meminum Minuman Keras
Berlebihan Di Propinsi Sulut, atau dikenal dalam
masyarakat sebagai
“Perda Orang Mabuk”. Perda ini tentu saja berlaku di seluruh
wilayah Propinsi
Sulut. Persoalannya mulai muncul ketika Kota Menado juga
akan membuat Perda
yang sama. Bahkan salah satu desa di Kota Manado juga
mengeluarkan
Peraturan Desa (Perdes) tentang hal yang lebih kurang sama.
________________________________________________
3 Pada tanggal 17 Mei 2001, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 62, 2001 Tentang Perobahan atasKeputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, SusunanOrganisasi, dan Tata kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubahterakhir dengan Keputusan Presiden No. 42 tahun 2001. Produk hukum terakhir ini pada dasarnya masihlemah di mata pemda kabupaten. Karena bagaimanapun kedudukan Keppres dalam hirarkhi perundanganlebih rendah dibanding UU. Dengan demikian terbitnya Keppres baru ini tidak akan mengubah sikappemda kabupaten yang berpedoman pada UU dalam mempertahankan keberadaan Dinas Pertanahan di kabupaten/kota.
(2) Masalah
koordinasi antara instansi sejenis di tingkat pemerintahan yang berbeda.
Untuk kewenangan
menyangkut metrologi misalnya, masih diperdebatkan apakah
akan dikerjasamakan
dengan propinsi, mengingat peralatan mahal dan ahlinya
terbatas, atau
propinsi akan meminjamkan alat dan ahlinya kepada kabupaten.
Demikian pula
menyangkut urusan pengelolaan SLTP dan SMU/SMK, pengaturan
pelaksanaannya
dinilai belum jelas, apakah sepenuhnya diserahkan ke
kabupaten/kota atau
tetap ditangani propinsi.
Terganggunya hubungan
antara propinsi dan kabupaten tidak mengemuka di
Gorontalo, hal ini
disebabkan Pemda Propinsi Gorontalo masih disibukan dengan
kegiatan persiapan
pemilihan anggota dewan, pemilihan gubernur definitif, dan
pembentukan struktur
organisasi yang baru.
Posting Komentar
Silahkan Tambahkan Kritik Dan Saran Anda. Kritik dan Saran Anda Sangat Bermanfaat Bagi Kami. Terimakasih.
Happy Blogging ..!